(un)colorful life : Senin, 21 September 2009

   Selama ini, aku sudah tahu bahwa pergi ke rumah keluarga besar kakekku dari pihak ibu, untuk bersalaman dengan RIBUAN sanak saudara yang aku bahkan nggak tahu namanya, bukanlah bagian favoritku dari Lebaran.
   Oke, jelas nggak sampai ribuan, tapi RATUSAN—walau sejujurnya, hal itu tidak banyak bedanya untukku, setidaknya dalam hal ini. Tidak percaya? Kau mestinya datang dan lihat sendiri. Bagaimana bisa mereka beranak-pinak sebanyak itu??? Kau akan berpikir mereka tidak punya KB.
   Oh, tunggu. Mereka dulu memang tidak punya KB.
   Yah, kembali ke awal. Aku sudah tahu silaturrahmi massal keluarga itu bukan bagian favoritku, tapi ternyata masih ada yang lebih parah dari itu. Dan yang ini bahkan hanya terdiri dari—tunggu, aku lupa menghitung, tapi jelas tidak lebih dari dua puluh orang (duh). Yaitu berkunjung ke rumah keluarga kakek dari pihak ayahku.
Aku tidak begitu dekat dengan ayahku. Dia sudah bercerai dengan Ibu setahun setelah aku lahir dan hanya mengunjungi kami sesekali sebelum dia menikah lagi, jadi bisa dibilang aku nggak punya kenangan apa-apa dengannya. Jelas aku tidak pernah pula mengunjungi rumah orangtuanya. Setidaknya sampai dia meninggal, beberapa tahun yang lalu.
   Di hari pemakaman Ayah itu, untuk pertama kalinya setelah tiga belas tahun, aku bertemu dengan keluarga Ayah. Mereka tersenyum ramah dan sebagainya, tapi tetap saja, aku nggak bisa benar-benar menganggap mereka sebagai keluargaku. Sampai sekarang. Aku merasa terpojok, terperangkap di tengah-tengah orang-orang yang asing, mencoba tersenyum sebisanya saat ditanya. Nyaris seperti orang yang baru pertama kali berkunjung ke rumah calon mertuanya, mungkin. Menyesakkan. Dan kakakku tidak banyak membantu—berlama-lama di ruang makan, entah melakukan apa, meninggalkan aku sendirian dalam keheningan yang canggung. Dan untuk pertama kalinya aku berpikir, sifat pendiamku ternyata praktis juga. Aku tidak harus repot-repot memulai obrolan, karena mereka sudah tahu bagaimana aku “kalem dan pemalu”, terima kasih kepada ibu dan kakakku yang banyak bicara.
   Tapi kesebalanku pada Kakak tidak berhenti sampai di situ. Dia terus-terusan menyuruhku jangan cemberut dan bersabar untuk pulang di depan para keluarga ayahku itu. Ergh. Aku tidak akan memintanya untuk memuji-mujiku setinggi langit, tapi tidak bisakah dia—apa ya istilahnya, “menjaga imej-ku” mungkin—di depan mereka? Haruskah dia meneriakkan apa yang kurasakan di depan orang-orang—yang, omong-omong, justru orang-orang yang paling tidak kuinginkan untuk mendengarnya?? Dan dia menyuruhku untuk bersikap sopan??? HA!!!
   Justru dia yang harus belajar untuk menjaga mulutnya.

Prologue

   Oke. Jadi aku mulai nge-blog sekarang.
   Aku sudah tertarik pada blog sejak—entahlah, praktis sejak pertama kali aku mendengar tentangnya. Tapi, berkat berbagai alasan yang kucari-cari sendiri—yang semuanya cuma alasan klasik, omong-omong, macam nggak ada topik, males nulis, banyak kerjaan, tarif dial-up mahal, siapa yang bakal mau membaca blog-ku, dst. dst.—aku nggak pernah nge-post apapun.
   Jadi kenapa sekarang aku mulai nulis?
  Entahlah. Mungkin karena aku semakin menyadari banyaknya manfaat yang bisa didapat dari blogging. Mungkin karena aku hanya terpengaruh saran-saran orang lain aja. Mungkin karena penyebab yang sama yang membuatku tak pernah menulis—sifatku yang angin-anginan.
   Atau mungkin karena aku sudah memutuskan bahwa aku tidak harus menulis sesuatu yang bermanfaat banyak bagi orang lain. Maksudku, aku kan masih belasan—berapa banyak blog yang ditulis remaja yang sama bermanfaatnya dengan Wikipedia? Aku hanya perlu menjadi diriku sendiri—hal yang gampang-gampang susah untuk nyaris semua orang, dengan perkecualian kakakku. Dan mungkin Avril Lavigne.
   Salah satu dari itu atau semuanya sekaligus.